1.Misteri Kapal Hantu “SS. Ourang Medan”: Seluruh Krew Kapal Tewas Mengenaskan Dengan Tubuh Kaku, Mata Melotot dan Muka Ketakutan!
S.S. Ourang Medan, adalah kapal kargo Belanda yang menurut beberapa penulis pada masa lalu telah karam di perairan Selat Malaka setelah seluruh krunya tewas tanpa diketahui akibatnya.
Namun masih ada keraguan terhadap kebenaran cerita ini, mengapa? Karena kapal ini disinyalir tidak pernah ada, dan hanya berupa legenda. Nah lo! Lalu mengapa ada banyak saksi mata yang jumlahnya puluhan dan bersumpah bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi?
Referensi pertama mengenai insiden di kapal ini adalah pada Proceedings of the Merchant Marine Councilpada Mei 1952. Catatan ini juga dipublikasi oleh United States Coast Guard, suatu lembaga resmi dengan kredibilitas tinggi.
Catatan mengenai insiden kapal ini telah muncul juga di berbagai buku dan majalah, terutama Forteana, sebuah majalah yang awalnya didirikan dan diterbitkan oleh Charles Hoy Fort (August 6, 1874 – May 3, 1932).
Ia adalah seorang penulis sekaligus peneliti asal Amerika tentang kejadian-kejadian anomali atau fenomena-fenomena aneh dan misterius yang terkenal di zamannya. Bahkan majalah ini masih diterbitkan hingga kini.
Begitu juga dengan Vincent Hayes Gaddis atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gaddis (December 28, 1913 – February 26, 1997) juga ikut menulis kisah ini. Ia adalah penulis terkenal yang juga dari Amerika Serikat asal Ohio. Salah satu dari beberapa tulisannya yang sangat terkenal adalah tentang Segitiga Bermuda yang ditulisnya pada tahun 1964.
Kebenaran peristiwa SS Ourang Medan ini masih belum diketahui dengan pasti, bahkan catatan mengenai pembangunan dan sejarah kapal juga masih belum diketahui. Lalu darimana asal kapal ini?
Akibatnya beberapa teori aneh akan bermunculan dikala belum ada jawaban logis berdasarkan keilmuan mengenai hal itu. Tapi peristiwa ini banyak diyakini orang, mungkin nyata dan benar adanya, karena telah dicatat dan ditulis dalam banyak tutorial dan laporan resmi.
2.Pulau Madagaskar, Ditemukan Oleh Perempuan Indonesia
Madagascar, tanah yang dihuni binatang-binatang unik dan memiliki kekayaan hayati luar biasa adalah salah satu tempat yang paling akhir dihuni manusia. Penelitian menguak, pulau terbesar keempat di dunia itu mulai dihuni sejak 1.200 tahun lalu.
Kolonialisasi Madagaskar mungkin terjadi tanpa disengaja. Peneliti menyebut, sekelompok perempuan dari Indonesia adalah penghuni pertama Madagaskar. Ada kemungkinan mereka terpaksa naik ke daratan karena kapal dagang yang membawa mereka terbalik.
Ini salah satu episode aneh dalam kisah pengembaraan manusia: faktor ketidaksengajaan menuntun orang menemukan Madagaskar.
Wanita Madagaskar
Seperti dimuat situs sains, Physorg.com, sejak lama Madagaskar menjadi daya tarik bagi para antropolog.
Salah satu alasannya, mengapa manusia tak menjamahnya selama ribuan tahun. Pulau keempat terbesar dunia itu sebelumnya hanya dihuni para lemur.
“Hal yang tak biasa tentang pulau ini adalah, Madagaskar terletak sangat jauh dari Indonesia. Ia juga dihuni belakangan, ketika sebagian besar dunia telah berpenghuni,” kata peneliti dari Massey UniversitySelandia Baru, Murray Cox, kepada situs sains LiveScience.
“Kita bicara tentang budaya yang menyebar di sepanjang Samudera Hindia”, tambah Murray Cox.
Penelitian genetika sebelumnya secara mengejutkan menunjukkan, alih-alih datang dari Afrika, nenek moyang penduduk yang tinggal di lepas pesisir timur Afrika itu justru berasal dari Indonesia, negara yang berjarak seperempat dunia, atau sekitar 5.600 kilometer.
“Yang belum kami ketahui pasti adalah, apa yang terjadi saat itu, kapan mereka datang dan bagaimana?” kata Cox.
Genetik DNA dari Indonesia
Untuk menemukan jawaban itu, Cox dan para koleganya menganalisa gen dari mitokondria, dari 300 penduduk asli Madagaskar dan 3.000 Indonesia. Mitokondria adalah baterai sel, pabrik energi sel. Namun, mereka istimewa karena gennya diwariskan dari ibu.
Penelitian menyimpulkan, dari gen-gen tersebut, menunjukkan ada kesamaan antara genom orang Indonesia dan orang Madagaskar.
Tim ilmuwan biologi molekular yang dipimpin Murray Cox dari Massey UniversitySelandia Baru menggunakan uji DNA dari 266 orang dari tiga etnik Malagasy atau orang asli Madagaskar, untuk menguak teka-teki migrasi itu.
Mereka menemukan, sekitar 1.200 tahun lalu, sekelompok manusia untuk kali pertamanya menginjakkan kaki di Madagaskar. Diduga karena kapal yang karam.
Hasil analisa gen dari mitokondria yaitu “baterai sel” yang gennya diwariskan dari ibu, menyimpulkan dari 30 perempuan termasuk penemu Madagascar, 28 di antaranya dipastikan dari Indonesia.
Beberapa penelitian sebelumnya tentang orang Madagaskar, khususnya terkait kromosom Y (yang diturunkan dari ayah ke anak) mengindikasikan, nenek moyang laki-laki juga berasal dari Asia Tenggara. Meski para ilmuwan belum mendapatkan petunjuk, berapa jumlah mereka.
“Juga ada kromosom Y dari Indonesia,” kata Cox. “Kami sudah mengetahui bahwa nenek moyang orang madagaskar, baik pria maupun wanita, berasal dari Indonesia. Kami hanya belum tahu ada berapa jumlah pria kala itu. Bukti-bukti yang kami miliki, populasi mereka juga kecil.”
3.Misteri Candi Bodobudur Indonesia
Terlepas dari kemegahan dan keindahan Borobudur, lengkap dengan relief yang penuh kisah dalam agama Budha, sejumlah misteri masih melingkupi candi ini.
Pada tahun 1814, atas jasa Gubernur Jenderal Britania Raya, Thomas Stamford Rafffles, candi yang selama berabad-abad terkubur di bawah gundukan tanah, menjadi serupa bukit penuh semak belukar dan ditumbuhi pohon, mulai jadi perhatian pemerintah kolonial.
Raffles juga yang pertama kali menuliskan nama “Borobudur” dalam bukunya, History of Java. Tak jelas asal mula nama itu.
Borobudur yang misterius itu diakui oleh direktur Utama Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur Prambanan Ratu Boko (Persero), Purnomo Siswoprasetjo.
Salah satunya, bagaimana cara Borobudur itu dibangun. Dari mana asal batu-batu besar material candi dan teknologi apa yang digunakan untuk mengangkat dan menyusunnya dengan presisi dan desain arsitektur yang mengagumkan.
“Apakah batu itu berasal dari Gunung Merapi, terus bagaimana membawanya dari Merapi menuju lokasi candi masih misteri,” kata Purnomo, 2012. Tak hanya asal batu, di mana pembuat Borobudur mengukir dan memahat batu juga masih belum diketahui. Para arkeolog masih mencari dimana “bengkel” para ahli-ahli seniman tersebut.
“Mengukir dan memahat batu sedemikian besar ukurannya dan jumlahnya banyak, belum diketahui di mana tempatnya,” terang dia.
Letak Borobudur yang tak biasa, berada di atas bukit, dikelilingi dua pasang gunung kembar — Sindoro-Sumbing dan Merbabu-Merapi, sementara candi lain dibangun di tanah datar juga menjadi teka-teki yang belum terjawab.
Pada tahun 1931, seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Daratan Kedu — lokasi Borobudur menurut legenda Jawa, dulunya adalah sebuah danau purba.
Borobudur, disinyalir dibangun untuk melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.
Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.
Namun ini baru sebuah hipotesa yang lalu menjadi perdebatan hangat di kalangan para ilmuwan saat itu.
Van Bemmelen dalam bukunya “The Geology of Indonesia” menyebutkan bahwa piroklastika Merapi pada letusan besar tahun 1006 telah menutupi danau Borobudur menjadi kering dan sekaligus menutupi candi ini hingga lenyap dari sejarah. Fakta geologi juga memberi dukungan pada pendapat itu.
“Di sekitar candi terdapat sumur yang airnya asin. Tapi yang sumurnya asin tidak di semua daerah, hanya di titik tertentu,” tutur Purnomo soal dugaan Borobudur dibangun di tengah danau purba.
Dia menambahkan, pertanyaan itu juga yang menarik banyak ilmuwan asing berdatangan, untuk melakukan penelitian.
“Banyak para ahli dari luar negeri seperti dari Jepang yang datang ke Candi Borobudur khusus untuk meneliti danau purba itu. Mereka biasa tinggal selama satu minggu hingga dua minggu,” kata dia.
Salah satu cara untuk mengungkap misteri danau purba itu adalah dengan meneliti sungai-sungai yang berada di sekitar Borobudur, termasuk Sungai Progo dan Elo serta juga pada masyarakat yang tinggal di sekitar candi.
“Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih tersimpan. Kitatunggu kajian dari arkeolog untuk mengungkap misteri itu,” ucap dia. (VIVAnews)
Borobodur, The Lost Temple of Java (2 Parts):
PART-1PART-2
4.Asal Mula Nama: Indonesia 
Pada zaman purba, kepulauan Indonesia disebut dengan berbagai macam nama. Dalam catatan Tionghoa, kawasan kepulauan tanah air ini dinamai Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan).
Berbagai catatan kuno India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta ‘dwipa’ (pulau) dan ‘antara’ (luar/seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebutnya Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Bahkan, sampai sekarang jemaah haji kita masih sering dipanggil “jawa” oleh orang Arab, meskipun orang luar Jawa sekalipun.
Dalam bahasa Arab, Sumatera disebut Samathrah, Sulawesi disebut Sholibis, Sunda disebut Sundah, dan semua pulau itu dikenal dengan Kulluh Jawi (semua Jawa).
Bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, kawasan yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok adalah “Hindia”.
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan Indonesia memperoleh nama “Kepulauan Hindia” atau “Hindia Timur”. Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada masa penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang pada 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal juga dengan nama Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebut Kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (‘insula’ adalah bahasa Latin yang berarti pulau). Namun, nama Insulinde ini kurang populer.
Indiae Orientalis Insvlarvmqve Adiacienti, Abraham Ortelius, 1592 (Antique Maps & Prints of Indonesia)
Pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia yang tidak mengandung unsur kata ‘india’. Nama itu adalah ‘Nusantara’, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Kitab Pararaton, kitab kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad 19 yang lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada 1920.
Namun pengertian nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara pada masa Majapahit.
Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan “pulau-pulau di luar Jawa” (‘antara’ berarti luar/seberang dalam Sansekerta), dan Jawa disebut Jawadwipa.
Sumpah Palapa Gajah Mada juga berbunyi “lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa” yang berarti “kalau pulau-pulau seberang telah kalah, barulah aku akan istirahat”.
Oleh Dr. Setiabudi, kata ‘nusantara’ yang pada masa Majapahit berkonotasi penjajahan itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli ‘antara’, Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu ‘nusa di antara dua benua dan dua samudera’, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Dr. Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif nama Hindia Belanda. Hingga kini, istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Pada 1847, di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia. Kemudian pada 1849, seorang ahli etnologi Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), bergabung dalam redaksi majalah tersebut.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”.
Dalam artikelnya, Earl menegaskan sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (‘nesos’ berarti pulau dalam bahasa Yunani). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripadaIndunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).
Earl juga berpendapat bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA volume IV itu juga, halaman 252-347, Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago”. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia”, agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini pun menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905), menerbitkan buku “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada 1864-1880.
Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam “Encyclopedie van Nederlandsch-Indië” tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Orang pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke Belanda pada 1913, beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama “Indonesische Pers-bureau”. Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917).
Sejalan dengan itu, sebutan inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia).
Pada 1922, atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk pad 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya:
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada Agustus 1939, tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat / parlemen Hindia Belanda); Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Namun, Belanda menolak mosi ini.
Ketika pendudukan Jepang pada 8 Maret 1942, secara otomatis lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada 17 Agustus 1945, seiring dengan proklamasi kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdiri sendiri tanpa penjajahan dari bangsa asing. (berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar